Kasus
reklamasi Teluk Jakarta belakangan ini menjadi topik pembicaraan hangat yang
banyak dibahas di media massa. Banyaknya pertentangan dari berbagai kelompok
masyarakat menyebabkan adanya perdebatan mengenai masalah
kelayakan dan pertentangan hukum mengenai reklamasi Teluk
Jakarta. Tapi apakah pembaca sudah paham mengapa reklamasi Teluk Jakarta
mengalami banyak pertentangan oleh berbagai pihak?
Sejarah Reklamasi Teluk Jakarta
Reklamasi Teluk Jakarta
adalah proyek penimbunan laut di depan garis
pantai Jakarta pada area sepanjang 32 km dengan lebar rata-rata 2
km sampai kedalaman 8 m dengan kebutuhan bahan urugan sebanyak 330 juta
m3, sehingga menghasilkan lahan baru seluas 2700 ha. Disamping itu akan
dilakukan pula revitalisasi di atas pantai Jakarta yang lama pada area
seluas 2500 ha. Di atas lahan hasil reklamasi ini akan dibangun berbagai
pusat bisnis dan jasa (perkantoran, hotel, area wisata dan pusat
perdagangan) dengan penambahan penduduk diperkirakan mencapai lebih kurang
1.750.000 orang.
Peta
Reklamasi Teluk Jakarta
|
Reklamasi
Teluk Jakarta pertama kali dirancang dan diatur berdasar Keputusan Presiden No.
52 Tahun 1995 Tentang : Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Keppres No. 52 Tahun 1995 merupakan aturan yang
bersifat khusus yang mengatur tentang reklamasi pantai utara Jakarta
sebagaimana tercantum dalam Amar Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung
Nomor 12 PK/TUN/2011. Pada Pasal 4 Keppres No. 52 Tahun 1995 dijelaskan bahwa
Gubernur DKI Jakarta diberi kewenangan dalam hal memberikan izin reklamasi.
Keppres No. 52 Tahun 1995 juga memberikan kuasa kepada Gubernur DKI Jakarta
sebagai Ketua Pengendali untuk membentuk Badan Pelaksana Pantai Utara Jakarta
(BP Pantai Utara Jakarta) guna melaksanakan reklamasi pantai utara Jakarta. Namun belakangan presiden menerbitkan Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan
Jabodetabekpunjur. Implikasi dari terbitnya perpres ini, sejumlah rancangan
pembangunan di kawasan Jabodetabekpunjur mesti diubah, disesuaikan dengan
ketentuan yang baru.
Pada tanggal 19 Februari 2003, Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK) yang dahulu bernama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)
mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003
tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara
Jakarta. Surat Keputusan Menteri tersebut mewajibkan Gubernur DKI Jakarta untuk
tidak memberikan izin reklamasi yang mendorong pihak perusahaan pengembang
menempuh jalur hukum. Pada tahun 2007, enam perusahaan pengembang yang mendapat
hak reklamasi menggugat Menteri Lingkungan Hidup ke pengadilan tata usaha
negara (PTUN). Pihak perusahaan pengembang yang mengugat, yaitu, PT Bakti
Bangun Era Mulia, PT Taman Harapan Indah, PT Manggala Krida
Yudha, PT Pelabuhan Indonesia II, PT Pembangunan Jaya Ancol,
dan PT Jakarta Propertindo.
Keenam perusaahan pengembang tersebut beralasan sudah
melengkapi semua persyaratan untuk reklamasi, termasuk izin amdal regional dan
berbagai izin lain. PTUN memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut. Kementerian
Lingkungan Hidup lalu mengajukan banding atas keputusan itu, tetapi PTUN tetap
memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut. Kementerian Lingkungan
Hidup lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Pada 28 Juli 2009, MA
memutuskan mengabulkan kasasi tersebut dan menyatakan, reklamasi menyalahi
amdal.
Pada tahun 2011, keadaan berbalik. MA mengeluarkan putusan
baru (No 12/PK/TUN/2011) yang menyatakan, reklamasi di Pantai Jakarta legal.
Namun, putusan MA tersebut tidak serta-merta memuluskan rencana
reklamasi. Untuk melaksanakan reklamasi, Pemprov DKI Jakarta harus membuat
kajian amdal baru untuk memperbarui amdal yang diajukan pada tahun 2003 dan
pembuatan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang melibatkan
pemda di sekitar teluk Jakarta.
Saat rencana reklamasi terkatung-katung oleh berbagai aturan
yang menghadangnya, pada tahun 2012 Presiden SBY menerbitkan Perpres No 122
Tahun 2012. Perpres mengenai reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
tersebut menyetujui praktik pengaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
di Teluk Jakarta. Pada tahun 2014, Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Gubernur
Fauzi Bowo kembali mengukuhkan rencana reklamasi. Surat Keputusan Gubernur DKI
Nomor 2238 Tahun 2013 keluar pada Desember 2014 dengan pemberian izin reklamasi
Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.
Kementerian Kelautan dan Perikanan menilai, kebijakan
tersebut melanggar karena kewenangan memberikan izin di area laut strategis
berada di tangan kementeriannya meski lokasinya ada di wilayah DKI
Jakarta. Tak hanya itu, Kementerian Koordinator Kemaritiman juga meminta
pengembang dan Pemprov DKI Jakarta membuat kajian ilmiah rencana reklamasi
Pulau G di Jakarta Utara. Kajian ilmiah itu perlu dijelaskan kepada publik
sehingga publik tahu detail perencanaan dan bisa mengawasi proyek
reklamasi. Akhir September 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan
mengkaji penghentian sementara (moratorium) reklamasi. Reklamasi diusulkan
hanya untuk pelabuhan, bandara, dan listrik. Di luar itu tidak boleh ada
reklamasi untuk hotel, apartemen, mal, dan sebagainya.
Moratorium yang masih berupa kajian tersebut tidak
menghentikan langkah Pemprov DKI
Jakarta untuk tetap melaksanakan reklamasi. Akhir
Oktober 2015, Pemprov DKI menyatakan mulai mempersiapkan tahap awal
pengembangan pulau-pulau reklamasi. Pulau O, P, dan Q akan diintegrasikan
dengan Pulau N untuk pembangunan Port of Jakarta.
Permasalahan
Reklamasi Teluk Jakarta
Banyak permasalahan-permasalahan yang timbul akibat reklamasi
Teluk Jakarta, salah satunya adalah kegiatan korupsi terkait proyek yang
menyeret M. Sanusi selaku Anggota DPRD DKI Jakarta. Pada tanggal 31 Maret 2016,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil membongkar tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh M. Sanusi. Dalam keterangan pers yang termuat dalam
laman resmi KPK pada tanggal 1 April 2016, M. Sanusi ditahan KPK (Komisi
Pemeberantasan Korupsi) karena tertangkap tangan menerima dana Rp 1 miliar
rupiah dan 140 juta rupiah dalam bentuk pecahan Rp 100 ribu rupiah dari
Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land.
Menurut penjelasan KPK, uang suap tersebut digunakan untuk
menyuap M. Sanusi berkaitan dengan pembahasan Raperda (Rancangan Peraturan
Daerah) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi
Jakarta Tahun 2015-2035 dan Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) tentang
Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. M. Sanusi disinyalir
berperan dalam penurunan persentase distribusi pengembang dari 15 persen
sebagaimana terdapat dalam draf Raperda usulan gubernur menjadi 5 persen.
Dampak
Buruk Reklamasi Teluk Jakarta
Keputusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011
pada tanggal 24 Maret 2011 mencantumkan alasan Menteri Negara Lingkungan Hidup
mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun
2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai
Utara Jakarta. Beberapa argumen Kementerian Lingkungan Hidup dalam menolak
proyek reklamasi antara lain:
- Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh BP Pantai Utara Jakarta DKI Jakarta berdampak negatif terhadap lingkungan terutama dapat menyebabkan banjir.
- 2. Kajian tentang banjir dalam studi AMDAL yang dilakukan perusahaan pengembang belum memperhitungkan pengaruh kenaikan muka laut rata-rata (mean sea level rise) dan pengaruh pasang surut dan belum memperhitungkan adanya back water (aliran balik sungai) akibat adanya hambatan berupa sedimentasi dan penimbunan tanah reklamasi ;
- Bahwa bencana banjir tahunan Kota Jakarta selama ini dan bencana banjir 2002, telah menimbulkan banyak korban dan permasalahan lingkungan hidup dan sosial ekonomi yang sangat besar
- Bahwa kajian studi AMDAL yang dilakukan perusahaan pengembang belum mencakup kemungkinan dampak lingkungan akibat pengambilan bahan urugan.
Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa
pengambilan bahan urugan yang diambil dari dasar laut akan menyebabkan
kerusakan ekosistem laut dan pola arus laut. Reklamasi juga akan menyebabkan
tersingkirnya masyarakat berpendapatan rendah di kawasan utara Jakarta
khususnya para nelayan di Kamal Muara, Muara Angke, Muara Baru, Kampung Luar
Batang, pemukiman padat di depan Taman Impian Jaya Ancol serta Marunda Pulo.
Reklamasi
juga dinilai dapat menyebabkan gangguan terhadap operasional PLTU/PLTGU Muara
Karang yang menyuplai kebutuhan listrik Jakarta diantaranya adalah kawasan
Istana Negara, Jalan Sudirman, Monas dan Bandara Soekarno Hatta. Gangguan
tersebut diakibatkan oleh kenaikan suhu air pendingin. Selain itu, reklmasi
juga dapat memperluas potensi pencemaran ke arah perairan Pulau Seribu akibat
aktivitas di darat.
Peran Ilmu
Geodesi dalam Reklamasi Teluk Jakarta
Ilmu
geodesi pada reklamasi diterapkan pada proses pengukuran area pulau-pulau hasil
reklamasi, dan menghitung percepatan laju penurunan muka tanah yang
disebabkan oleh dampak kerusakan lingkungan wilayah pesisir Jakarta.
Citra
pada tanggal 23 April 2016
Dari dua citra yang diperoleh dari
Google Earth dengan waktu yang berbeda, memperlihatkan adanya pertambahan
lahan hasil reklamasi. Contohnya pada citra tangaal 23 April 2016 di
daerah lingkaran merah adalah reklamasi Pulau N yang akan difungsikan untuk pembangunan Port of Jakarta.
|
Sumber:
Keputusan
Presiden No. 52 Tahun 1995 Tentang : Reklamasi Pantai Utara Jakarta
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun
2003 tentang
Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta
Kementrian
Lingkungan Hidup Republik Indonesia : http://www.menlh.go.id/